Sabtu, 15 Oktober 2011

Aku dan Bintang (Part5)


*****

Sudah beberapa hari ini Agni telah menjalani hari-harinya disekolah seperti biasanya. Bahkan ada yang berbeda dari sebelumnya. Yeaah, Ify sudah mengakhiri masa lajangnya bersama Rio begitupun dengan Sivia dan Alvin. Namun, Agni saja yang masih sendiri. Ia masih menikmati masa-masa sendirinya.

Agni tengah berjalan santai dikoridor sekolahnya dengan riang. Ia sangat bahagia hari ini. Namun, bahagia entah karena apa. Namun, ia sangat menikmati hari ini. Mungkin, karena dapat petunjuk bintang tadi malam.

“Agnii…” Panggil seseorang dibelakangnya. Agni lalu menoleh dan mendapati Ify dan Rio kini tengah berlari kecil kearahnya.

“Why?” Tanya Agni cuek saat mereka telah sampai disampingnya. Ify dan Rio lalu mensejajarkan langkahnya dengan Agni.

“Nggak papa. Cuma mau jalan bareng dirimu aja, Cintaa..” Cengir Ify lalu menggandeng lengan Agni. Rio yang berada disamping Ify cemberut. Seakan gak dianggap.

“Eheemm..” dehem Rio yang seakan gak dianggap. “Jadi nyamuk ya..” Lanjut Rio sambil melirik Ify. Ify menepuk jidatnya karena lupa ada Rio sang pacar yang berada disampingnya. Ify nyengir, “Hhe.. Ayang Io jangan marah ya?” Pinta Ify melas. Rio memasang muka dingin yang sebenarnya ingin mengerjai Ify.

“Aku duluan ye. Udah sampai,” Agni lalu memasuki kelasnya. Sedangkan Ify dan Rio melanjutkan perjalanan mereka. Dilihatnya Sivia tengah asyik berkutat dengan bukunya dan tumben-tumbennya ia pakai kacamata. Agni mengerutkan keningnya dan duduk disamping Sivia.

“Ciihh. Tumben pake kacamata? Matanya jadi empat tuh.” Cibir Agni lalu dengan seenaknya melepaskan kacamata Sivia. Sivia yang lagi membaca pun jadi kaget.

“Terpaksa, Ag. Mau gimana lagi, mata ku tuh minus nya udah gede.” Sedih Sivia. Sivia memang sama sekali tak suka memakai kacamata. Apalagi harus memakainya setiap hari. Namun karena matanya memang diharuskan memakai kacamata. Ya, mau gimana lagi. Agni Cuma manggut-manggut lalu memakai kacamata Sivia.

“Kamu cantik, Ag pake kacamata.” Puji Sivia tulus. Agni nyengir. “Emang aku dari dulu cantik kok. Makanya banyak yang naksir,” Narsis Agni sambil memainkan kacamata Sivia. Sivia merengut. “KEPEDEEAAANNNNN!!” Teriak Sivia ditelinga Agni. Tak hanya Agni yang merasa gendang telinganya hampir pecah. Namun, seluruh orang yang berada dikelas.

“Husshhh! Bisa pecah telinga gue,” Tegur Irsyad yang berada dipaling pojok kelas. Sivia hanya mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk sebuah kata ‘Sorry’ dengan dilambangkan kedua tangannya.

“Huuuuuu!” Koor Agni dan anak-anak sekelas kepada Sivia. Sivia Cuma nyengir tanpa dosa. Tak berapa lama Ibu Winda sang guru matematika pun memasuki kelas mereka. Seketika kelas langsung sunyi senyap dan dengan nyamannya mengikuti pelajaran sampai berakhir.

Teett.. Teettt..
Bel surga pun berbunyi bagi anak-anak diseluruh lorong sekolah. Yeah, tandanya waktu belajar untuk sementara berakhir dulu karena sudah dibunyikannya bel istirahat. Anak-anak langsung berhamburan keluar tidak terkecuali SIA dan CRA.

“Jemput Ify yuk, Ag.” Ajak Sivia disela-selanya membereskan buku-bukunya yang memenuhi mejanya. Agni yang tengah selesai membereskan bukunya pun duduk diatas meja Sivia.

“Nggak ah. Males, bentar lagi pasti nongol bareng pacarnya. Eh, pacarmu mana?” Tanya Agni pada Sivia. Sivia menggeleng lesu.

“Biasa, Ag. Ketua Osis mah sibuk banget! Makanya gak pernah ada waktu buat aku..”Lesu Sivia dengan raut wajah sangat melas. Agni mengacak-ngacak rambut Sivia kasar sehingga berantakan.

“Siapa bilang?” Tanya seseorang dari balik pintu. Dilihatnya CRAI berdiri didepan pintu dengan gaya masing-masing yang menggoda jiwa (?) kecuali, Ify.

“Kak Alvin?” Ucap Sivia sumringah. Ya, orang itu adalah Alvin. Alvin mengangguk lalu memasuki kelas  bersama Rio-Ify dan Cakka. Cakka dan Agni hanya melempar senyum manis masing-masing. Sedangkan Rio dan Ify asyik mojok dibelakang.

“Fy. Ayah kamu jualan es ya?” Gombal Rio sambil memainkan rambut ikal Ify.

“Kok tau?”

“Karna kau telah membekukan hatiku.” Rio lalu mencubit pipi Ify dengan gemas. Sedangkan Ify yang mendengar gombalan Rio hanya menyembunyikan pipi nya yang merona merah.

“Io, ayah kamu jualan panci yah?” Ify berniat membalas gombalan Rio. Rio langsung tersenyum PD. “Kok tau?”

“Karna wajahmu sehitam pantat panci dirumahku. Wakakak,” Celetuk Cakka yang berhasil membuat mereka ngakak dewa minus Rio. Yang diejek hanya cemberut. “Kampret lo, Cakk.” Rio lalu melemparkan sepatunya kearah Cakka. Namun, eitts. Ia tak kalah gesit menghindar lalu memeletkan lidah kearah Rio.

“Ag. Bisa gue bicara sebentar sama lo?” Pinta Cakka yang melihat sedari tadi Agni hanya diam memperhatikan mereka semua. Agni yang tengah melamun tak mendengar ucapan Cakka. Ia hanya menatap keluar kelas dan masih tetap pada posisi duduk diatas meja Sivia.

“Ag?” Cakka melambai-lambaikan tangannya kemuka Agni. Namun, tak ada respon sama sekali. “Agniiiiiiiiiiii…..” Teriak Cakka ditelinga Agni yang sukses membuat Agni dan lainnya kaget.

“Gila! Lo teriak kuping gue serasa mau pecah!” Sewot Alvin lalu menoyor kepala Cakka. Alvia dan Rify yang tengah bermesra-mesraan terganggu karena ulah Cakka. Cakka Cuma nyengir tak berdosa. “Lagian gue tadi manggil Agni gak direspon. Yah, gue ngambil jalan pintas yaitu teriak.”

“Lo manggil gue?” Tanya Agni bingung. Cakka melengos lalu mengangguk. “Gue mau bicara sama lo,” Kata Cakka lalu menarik keluar Agni dengan paksa. Agni hampir saja jatuh ke lantai dengan posisi tengkurap akibat ulah Cakka. Namun dapat ditahan oleh Agni posisinya sehingga tidak jatuh.

*****

“Tangan gue sakit! Lo mau bawa gue kemana sih?” Sewot Agni lalu mencoba melepaskan cengkraman tangan Cakka dari tangannya. Namun, semakin ia mencoba melepaskan tangannya. Semakin keras pula Cakka mengeratkan pegangannya. “Bentar lagi bel bunyi tau!” Agni masih mencoba melepaskan tangannya. Mukanya cemberut sepanjang jalan.

Heh? Parkiran? Tanya Agni bingung sama dirinya sendiri. Ngapain Cakka membawanya keparkiran. Pulangan aja belum. Lalu?

“Nih pake!” Cakka menyodorkan sebuah helm ke arah Agni. Sedangkan dia sudah memakai helm full face nya disertai dengan jaket hitam yang membuat ketampanan dan gagahnya dirinya pun terlihat. Tak salah kalau hanya beberapa hari yang lalu ia masuk sekolah sudah menjadi Most Wanted di GSIS. Agni menatapnya heran.

“helm? Buat apa?” Tanya Agni bingung. “Udahlah, pake aja!” Agni menurut lalu memakai helm itu dikepalanya. Cakka lalu menyuruhnya naik ke atas motor ninja merahnya yang gagah seperti pemiliknya. Agni lalu naik dengan muka jengkel. “Bolos kan aku!” Batin Agni kesal.

“Pegangan! Gue mau ngebut!” Perintah Cakka. Bukan menurut malah ia memegang erat pegangan di jok motor Cakka. Cakka menggeleng melihat kelakuan Agni yang susah diatur dan tanpa aba-aba apapun dia mengebut motornya dengan kencang. Agni yang kaget pun refleks langsung memeluk Cakka.

“Nah, gitu kek dari tadi.” Gumam Cakka namun pasti tak bakalan didengar oleh Agni karena bunyi angin lebih kencang daripada suara Cakka.

******

“Cakka kemana, Vin?” Tanya Rio pada Alvin. Mereka kini tengah mengikuti pelajaran didalam kelas. Alvin yang tengah asyik menulis pelajaran kesukaannya yang kini sedang dijelaskan didepan kelas pun menghentikan aktivitasnya sebentar lalu menoleh ke arah Rio.

“Mana gue tau. Palingan lagi sama kekasihnya si tomboy itu.” Jawab Alvin lalu melanjutkan acara menulisnya lagi.

“Maksud lo Agni?” Tanya Rio telmi. Sudah tau yang dimaksud Agni kini malah nanya. Alvin mengangguk geregetan mendengar pertanyaan Rio.

“Yah enak banget si Cicak. Gue juga pengen cabut ahh..” Rio lalu membereskan buku-bukunya dan bersiap-siap memasukkannya ke dalam tasnya. Namun, segera ditahan Alvin dengan menarik kerah baju Rio yang kini malah membuatnya tercekek.

“Aduuuhhh!” pekik Rio nyaring. Pak Dave yang tengah mengajar didepan kelas pun membalikkan badannya ke belakang untuk mencari sumber suara yang ‘cukup’ nyaring itu.

“Kamu kenapa Rio?” Tanya pak Dave saat melihat Rio mukanya kini merah. Alvin yang disampingnya Cuma ketawa ngikik namun pelan. “Gapapa, pak. Silahkan dilanjutkan.” Jawab Rio. Pak Dave lalu melanjutkan pelajaran yang sempat terganggu karena teriakan Rio.

Rio lalu menoyor kepala Alvin dengan keras.

“Gue hampir kecekek bego!” Umpat Rio jengkel lalu membenarkan kerah baju seragamnya yang terlihat berantakan. “Tetep disini atau nilai lo gue kurangin.” Ucap Alvin dingin dan kembali ke sifatnya yang semula. Rio melengos. Acara ngedate siang-siangnya bareng Ify pun tertunda karena ancaman dari Alvin. Alvin kalo sudah mengancam tak segan-segan untuk melakukan ancamannya tersebut.

“Iya. Iya..” Rio lalu mengeluarkan kembali buku yang telah dimasukkannya kedalam tas dan kembali mengikuti pelajaran dengan perasaan campur aduk antara kesal dan jengkel karena ulah Alvin kepadanya.

******

Cakka dan Agni kini telah sampai disebuah tempat. Yah, bukan seperti tempat yang bernuansa romantis seperti taman, danau atapun pantai. Melainkan tempat anak-anak yang terlantar yaitu panti asuhan.

Mata Agni terbelalak melihat tempat yang kini berada didepannya. Panti Asuhan? Pikirnya. Ia tak percaya Cakka mempunyai rasa sosial dan kepedulian terhadap sesama juga yang tinggi. Ia saja tak pernah memikirkan ini sebelumnya.

“Ayo masuk, Ag.” Ajak Cakka. Agni mengangguk lalu mengekor dibelakang Cakka untuk memasuki tempat yang terlihat seperti rumah namun sangat sederhana.

Agni melihat anak-anak kecil didalam rumah itu. Tak banyak seperti ditempat panti-panti asuhan lainnya. Namun cukup lumayanlah.

“eh. Nak Cakka.” Ucap Ibu-ibu paru baya yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Ia menyambut Cakka dengan ramah dan senyum mengembang dibibir Ibu itu. “Nak Cakka sama siapa?” tanya Ibu-ibu itu lalu melirik kearah Agni. Agni yang merasa dirinya yang dibicarakan pun tersenyum.

“Saya Agni, bu.” Agni memperkenalkan dirinya dengan sopan. Ibu-ibu itu mengangguk tanda mengerti. “Yasudah, ayo kalian duduk.” Ibu itu mempersilahkan. Agni dan Cakka pun duduk diatas sofa yang panjang dan bersih. Ibu itu kembali masuk kedalam.

Agni menarik nafas. “Lo suka main kesini?” Cakka menoleh ke arah Agni lalu tersenyum mengangguk. “Gue seneng aja kesini. Disini banyak anak-anak yang lucu dan imut-imut.” Ujar Cakka lalu kembali fokus pada I-Phonenya. Agni Cuma mengangguk tanda mengerti. Tapi, masa Cuma itu alasannya sih?

“Masa Cuma itu alasannya? Pasti ada yang lain.” Kata Agni lalu dengan gemasnya menarik rambut Cakka. Cakka meringis kesakitan. “Mau tau?” Agni mengangguk antusias. Entah kenapa ia ingin sekali mendengarkan cerita Cakka. Tertarik.

Cakka menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. “Dulu, cewek gue suka banget ke tempat ini. Dia selalu main dan hampir setiap hari kesini. Dia orangnya ceria dan sebab itu gue kira dia itu anak nya baik-baik aja dan sehat. Namun, gue salah. Dia punya penyakit yang sangat ganas sehingga menyebabkan dia pergi dari dunia ini. Dia berpesan kepada gue untuk tetap setia kesini dan bermain dengan anak-anak dipanti asuhan ini. Nama dia Acha, sama kayak nama adik lo.” Cerita Cakka dengan singkat. Mungkin ia tak ingin terlalu larut dan kembali lagi kemasa lalunya yang cukup kelam. “Dia cinta pertama gue,” Lanjut Cakka. Raut wajah Agni langsung berubah. Ia merasa bersalah dengan Cakka.

“Gue minta maaf, kka. Gue gak maksud bikin lo sedih.” Agni merasa bersalah dengan pertanyaan dan ucapannya yang membuat Cakka bercerita masa kelamnya itu. Cakka menanggapinya hanya dengan tersenyum tulus.

Tiba-tiba dari dalam keluar dua anak kecil cowok yang imut-imut mungkin bisa dibilang balita. Satu bermata belo dan satunya berambut gondrong. Mereka berhambur dan lari ke dalam pelukan Cakka. Namun, yang bermata belo tak segan-segan untuk berlari kedalam pangkuan Agni.

“Mama.. Papa..” Ucap yang bermata belo itu. Ia tersenyum kearah Agni lalu memeluk Agni dengan erat. Agni kaget. Kenapa balita itu memanggil dia mama?

“Papa.” Ucap yang berambut gondrong dengan gaya khas anak kecil berbicara. Suara nya masih agak tersendat-sendat karena ia baru belajar ngomong. Cakka tersenyum lalu menggendong balita itu dengan sayang. Cakka dan Agni lalu melihat kalung yang bertuliskan nama mereka masing-masing dileher balita itu. Deva dan Ray.

“Kka. Kenapa dia manggil gue mama? Gue belum punya anak!” bisik Agni pada Cakka. Cakka terkekeh. “Sama. Masa dia manggil gue papa? Emang lo doang yang gak punya anak. Gue juga kali,” Balas Cakka tertawa. Agni merengut. Namun, ia sangat senang melihat Deva yang tak malu-malu untuk memeluknya. Agni memang menyukai anak kecil apalagi yang masih kayak Deva dan Ray.

“Kamu kenapa manggil aku mama?” Tanya Agni lembut lalu menggendong Deva. Ia membelai Deva dengan sayang. Agni sudah terbiasa dengan anak kecil apalagi dia dulu yang merawat Acha saat bayi.

Ibu paru baya itu lalu keluar dan membawa nampan yang berisi minuman dan cemilan. Ia agak kaget saat melihat Deva dan Ray dalam rangkulan Agni dan Cakka.

“Deva? Ray? Kalian ngapain?” Tanya Ibu itu lalu mengambil Deva dan Ray dari pelukan CaGni. Namun, tiba-tiba mereka menangis. “Maaf. Mungkin Deva dan Ray kira kalian orang tua mereka. Kalian memang sangat mirip dengan Ibu Tri dan Bapak Raga. Orang tua mereka.” Jelas Ibu itu lalu menyerahkan sebuah fhoto yang berisikan dua orang dewasa yang sedang menggendong bayi mereka. Cakka dan Agni terkejut. Memang, fhoto itu sangat mirip dengan mereka berdua.

“Oh, Iya. Gak papa bu. Tadi agak sedikit kaget juga karena Deva memanggil saya Mama.” Agni tersenyum lalu menghirup teh hangat yang baru saja dibikinkan oleh Ibu Dirta –Ibu panti asuhan- Itu.

“Orang tua mereka kenapa meninggal bu?” Tanya Cakka yang diikuti oleh anggukan dari Agni. “Mereka meninggal karena kecelakaan.” Jawab Bu Dirta. Cakka dan Agni mengangguk mengerti lalu mereka berbincang-bincang cukup lama sampai akhirnya mereka pamit meninggalkan panti tersebut. Entah dapat dorongan dari mana Agni tak segan-segan untuk mencium Deva dan Ray dikening sebelum mereka meninggalkan panti.

*****

Ify dan Sivia kini tengah santai dicafe dekat sekolahan mereka bersama Rio dan Alvin tentunya.

“Eh. Cakka sama Agni kemana sih?!” gerutu Via sambil mengaduk-ngaduk juice chocolate didepannya dengan gemas. Alvin yang mendengar gerutuan Via pun menoleh.

“Kenapa, Siv?” Tanya Alvin yang melihat kegelisahan Sivia. Sivia menggeleng. “Khawatir sama Agni aja kak.” Jawab Via seadanya. Ify memperhatikan wajah Sivia.

“Khawatir? Emang kenapa, Vi?” Tanya Ify yang bingung. Sivia menatap Ify sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke juice didepannya.

“Kata dokter kemaren Agni gak boleh capek-capek dulu. Selain bekas jahitan dikepalanya belum sembuh ia gak makan dari tadi pagi.” Jelas Sivia. Ify melotot dan hampir menyemburkan makanan yang baru saja ditelannya.

“What? Wah parah! Agni kan punya penyakit maag. Lagian si Cakka main bawa Agni aja!” Ify lalu mencari handphonenya dan segera mencari nomor hp Agni di phonebook nya. Namun, hp Agni sama sekali tak aktif. “Gak aktif,” Ify dan Sivia kini gelisah. Rio dan Alvin pun jadi ikutan bingung.

“Gue yakin Cakka bisa jaga Agni kok, tenang aja!” Rio mencoba menenangkan dua gadis didepannya ini. Sedangkan Alvin hanya diam. Ada memori kecil yang melintas diotaknya. Agni? Penyakit maag?

******

“Kepala gue sakit. Perut gue mual,” Rintih Agni sambil memegangi perutnya yang terasa perih. Cakka yang tengah asyik menyenderkan kepalanya disebuah pohon pun tak mendengar rintihan Agni. Cakka hanya melirik Agni sekilas.

“Kka..” panggil Agni pelan. Pandangannya mulai agak buram dan sedikit gelap. Namun Cakka tetap asik mendengarkan lagu dari I-pad nya.

Kepala Agni pusing dan semua pandangannya seakan berputar. Menambah perutnya semakin mual dan membuatnya mau muntah. Pandangannya tiba-tiba gelap dan….

******

Sivia yang tengah asyik memainkan gelas juice minumannya tadi pun perasaannya mendadak tidak enak dan gelas yang dipegangnya tadi pun jatuh dan pecah. Pikirannya langsung tertuju kepada Agni. Sontak Rify dan Alvin menoleh kearah dirinya.

“Kenapa, Siv?” Tanya Alvin khawatir dengan keadaan kekasihnya. Begitupun dengan Rio dan Ify menatapnya seakan akan bertanya kamu-kenapa-Vi?

“Perasaan aku gak enak aja,” Ujar Sivia. Tangannya mengeluarkan keringat dingin. Alvin mengusap-ngusap punggung Sivia dengan perasaan ikut bingung namun tetap dengan mencoba untuk menenangkan Sivia.

******

Tidak ada komentar: