Senin, 15 Agustus 2011

Dia yang Terakhir #Cerpen

Masih membekas didalam relung hati. Kenangan-kenangan indah ketika dulu masih bersama. Siluet-siluet kenangan itu masih jelas tergambar didalam pikiran. Cerita cinta itu memang sudah berakhir. Namun gambaran sosok wajah sang pujaan hati sering terlintas didalam pikiran. Tidak mampu melupakan karena terlalu lama telah menempati hatinya yang kosong.

***

Diliriknya lelaki itu, dia sadar dia mungkin hanya bermimpi untuk itu. Namun sebuah harapan yang telah lama diendapkan dalam hatinya tak pernah ia bersihkan.

Dalam diam dia terus mencari, mencari sebuah harapan. Dalam tumpukan sampah sebuah cinta yang telah lama di buang. Terkadang itu selalu membuatnya malah terhanyut didalamnya.

Waktu telah lama tergantikan, namun nama gadis yang sedang dia pandang itu masih terus tersimpan, dia tak mungkin bisa melupakannya begitu saja.

"Maafkan aku,Kka. Kamu memang tidak salah, namun keadaan yang telah memaksa aku untuk buat keputusan ini. Bukan aku tak menghargai 4 tahun kebesamaan kita, namun aku merasa kita memang sudah tidak lagi sejalan, tak ada gunanya kita terus mempertahankan hubungan ini jika akhirnya harus ada yang terluka."
"Kamu tak tahu bagaimana terlukanya aku dengan keputusan mendadak kamu ini."
"Aku juga terluka,Kka. Keputusan ini sudah lama aku rancang dan sudah aku pikir matang, aku rasa ini adalah hal yang paling terbaik untuk kita berdua."
"Untuk kamu. Bukan untukku,"
"Cakka, coba kamu pikir, daripada kita ngelanjutin hubungan seperti ini terus, hambar. Gak ada gunanya, aku gak mau ngejalanin hubungan hanya pura-pura saja. Kelihatan mesra dimata orang padahal sebenarnya enggak. Buat apa? Gak ada gunanya."
"Saat ini kita dalam masa jenuh saja,Ag. Aku yakin beberapa bulan kedepan juga hubungan kita bakal normal lagi."
"Seberapa besar keyakinan kamu? Aku gak yakin buat itu."
"Masih ingat ditahun pertama hubungan kita? Saat itu kita hampir saja putus, namun aku terus ngeyakinin kamu kalo kita bisa ngebenahi hubungan kita, lihat kan bagaimana hubungan kita itu sampai sekarang?"
"Namun itu lain,Kka."
"Lain gimana?"
"....."
"Lain, karena sekarang ada Alvin."
"Kok kamu jadi nuduh gitu sih?"
"Aku gak nuduh!"
"Yang kamu ucap tadi?"
"Sebenarnya yang berubah itu kamu. Bukan aku. Selama ini aku masih ngejalanin hubungan ini biasa saja. Namun semenjak kamu dekat sama dengan Alvin, semua berubah."
"Aku gak senang kalau kamu mulai menyangkut pautkan semua ini. Selama ini aku hanya menganggap Alvin hanya sebagai teman aku aja, gak lebih."
"Seorang kapten basket putra dan ketua kapten basket putri gak pernah sampai sedekat itu."
"Cakka cukup! Pembicaraan kita sudah keluar jalur, gak lucu kamu ngebahas itu saat ini."
"Aku sudah lama mengenal kamu,Agni. Aku begitu paham dengan tingkah dan prilaku kamu, baik buruknya kamu, dan aku merasakan ada hal yang lain melihat kamu menyikapi kedekatanmu dengan Alvin."
"Terserah kamu mau nilai aku apa. Yang pasti keputusan aku tak mungkin dapat aku ubah, awalnya aku ingin kita berpisah secara baik-baik. Tapi kalau pemikiran kamu sudah melenceng seperti ini, aku gak tahu harus bagaimana. Maafkan aku,Kka. Aku rasa hubungan kita sampai disini saja,"
"Tapi,Ag...."
"Sudahlah, gak ada gunanya saling debat lagi. Sekarang sudah saatnya jalani hari kita masing-masing. Selamat tinggal,Kka."

Itulah kata-kata yang membekas dihatinya. Kata-kata yang ia sendiri ucapkan teus membekas dihatinya. Kata-kata yang begitu menyakitkan bagi dirinya sendiri namun enggan dibuang olehnya.

Kemarin dia sudah berjanji kalau dia akan menghapus wujud Cakka dari pikirannya. Hal itu terus-menerus ia kemukakan kepada sahabat-sahabatnya yang terus membujuknya agar bangun dari keterpurukan itu.

Namun tak pernah terbayang olehnya. Kalau melupakan seseorang yang begitu ia cintai tak semudah membalikkan telapak tangan. Mungkin ia bisa melupakan sosok Cakka ketika dia sedang di kelilingi temannya. Tapi apa yang Agni temukan ketika dia termenung sendiri dikamarnya? Atau ketika secara tak sengaja berada ditempat-tempat yang sering ia habiskan waktu berdua dengan Cakka. Sosok Cakka begitu melekat hebat dihatinya. Bagaikan lem dengan sangat kuat yang ketika ia mencoba untuk melepasnya secara paksa hanya menimbulkan luka dihatinya.

***

Siang ini mentari tak begitu terik memancarkan cahayanya. Namun cukup membuat udara pengap disini. Tak banyak orang yang ingin memakai jaket diudara sepengap ini. Namun tidak untuk Agni, ia masih merasa nyaman dengan jaket yang melekat ditubuhnya itu.
Terkadang ia benarkan letak kacamata minus yang selalu menghias wajah manis gadis itu. Rambut lurus pendek nya sesekali bergerak tertiup angin.
Sebenarnya Agni sudah tidak nyaman duduk disitu, namun ada sesuatu yang menguncinya untuk tetap terdiam disana.

Tak lain itu karena Cakka. Dari kejauhan tanpa sepengetahuan Cakka, Agni terus memperhatikan sosok lelaki itu.

"Sudahlah Ag. Tak sepantas nya lo terus seperti ini," Sivia teman dekat Agni tiba-tiba saja duduk disampingnya.
"Dia gak tau gimana gue yang sangat masih mencintainya,"
"Terus kenapa lo mutusin dia? Kalau begini terus sampai kapanpun lo akan terus terpuruk jika lo memang gak mau bangkit. Gak ada gunanya lo terus seperti ini."
"Munafik kalau gue melakukan itu. Gue sangat cinta dan masih cinta sama Cakka. Gak mungkin gue berpura-pura dalam kondisi gue seperti sekarang ini,"
"Itu karena lo belum bisa mengikhlaskan apa yang udah lo lakukan itu. Biarkan Cakka sekarang, dia bukan jodoh lo, masih ada jutaan lelaki lain yang masih mungkin menjadi pacar lo. Air mata gak akan bisa menyelesaikan masalah. Air mata hanya peringan beban lo aja. Kalo lo benar-benar pengen keluar dari masalah ini, bebaskan diri lo. Lepaskan semua masa lalu lo, melangkahlah dengan melihat kedepan. Jangan hanya melihat ke belakang, Tuhan telah menggariskan jalan hidup seseorang. Biarkan ini semua mengalir,"
"Tapi sampai kapan gue mesti terpuruk seperti ini?"
"Nanti waktu yang bakal menjawabnya, yakinlah seseorang masih menunggu lo disana, Raihlan dia, gue percaya lo. Kalau lo bisa ngelakuin apa yang gue ucap tadi,"

***

Agni termenung menatap layar telepon selularnya. Untuk pertama kalinya dalam 8 bulan terakhir ini, dia menerima pesan singkat dari Cakka.

"Hallo,Agni. Apa kabar? Baik kan?"

Cukup singkat memang. Namun cukup membuat semua perasaan yang dahulu dipendamnya kembali muncul.

Cakka. Memang belum biasa menjadi lelaki biasa bagi Agni. Dia masih tetap seorang yang istimewa. Namun keadaan yang memaksanya untuk menganggap bahwa Cakka bukan lagi orang istimewa baginya.

8 bulan ini dia berhasil memendam semua angannya akan Cakka. Perlahan dia bangkit keterpurukannya itu dengan menyibukkan diri di klub basket putri disekolahnya.

Berhasil memang, dengan kegiatannya yang padat dan mengenal orang-orang baru membuatnya lupa akan sosok Cakka. Bahkan diam-diam dia dia mulai menaksir salah satu teman di klub basket putra, tinggal selangkah lagi, ia mungkin bisa memiliki Rio. Lelaki yang dipujanya itu.
Namun sayang, Agni kini harus kembali mengingat Cakka, akibat pesan singkat yang baru saja ia terima itu.

Dia masih terus memandangi layar mungil handphone itu. Berulang kali dia baca pesan singkat itu, seakan tak percaya kalau Cakka baru saja mengirimkan SMS untuknya. Ia memang tak pernah menyangka kalau Cakka akan menghubunginya kembali.

***

Sesaat dia segera menekan tombol reply. Namun ia urungkan niatnya untuk membalas pesan itu. Segera ia lemparkan benda itu ke atas tempat tidurnya. Dan beranjak meninggalkan kamarnya.

***

Lama Agni tak lagi menemukan Sms atau dering telepon dari Cakka kini. Terkadang dia merindukan akal hal itu, karena memang bukan hal yang dibencinya.

Kini ia hanya termenung, memikirkan kembali apa yang telah ia perbuat pada Cakka. Lelaki yang begitu istimewa dihatinya, sampai umurnya mungkin tak beberapa lama lagi. Lelaki yang sedang berusaha untuk mengejarnya kembali. Namun tak pernah ditanggapinya.

Dia tahu dia salah telah melakukan itu, tak seharusnya dia sampai demikian memperlakukan Cakka. Agni melakukan itu karena ia tak ingin Cakka terluka suatu saat hari nanti. Disaat dirinya.....

***

Author P.O.V ( Cakka )

***

Saat itu. Selepas makan malam, Cakka membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Alunan musik lembut terlantun dari komputer yang sedari tadi siang tak ia matikan.

Jemari tangannya sibuk menekan tombol-tombol dari handphone yang dipegangnya itu. Terlintas dipikirannya untuk menghubungi Agni kembali.

Dia sangat merindukan Agni, dia sadar, Agni memang bukan orang yang pantas ia lupakan. Agni masih menjadi bagian yang berharga bagi hidupnya. Walaupun dulu, Agni memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas dari Agni. Namun Cakka tau, Agni memutuskan dirinya ada suatu alasan. Namun, Cakka tidak mengetahuinya.

Cakka masih mencintai Agni.

Kini Cakka bertekad untuk menghubungi Agni lagi. Harapnya, Agni masih menyimpan rasa yang sama terhadapnya.

Di carinya nama Agni di Phonebook, ketika nama itu telah ditemukan, segera ditekannya tombol call, dengan hati berdebar di tunggunya panggilan itu tersambung. Namun, gagal. Hanya nada sibuk yang Cakka temukan.

Ah, mungkin Hp Agni sedang dipakai, Pikir Cakka. Dia menunggu beberapa saat, kemudian diulang kembali usahanya untuk mengubungi Agni.

Kembali gagal, malah kini terdengar suara komputer yang menjelaskan bahwa telepon yang dihubungi sedang tidak aktiv atau berada diluar jangkauan.

Cakka sempat bertanya, kemana Agni?

Namun dia hanya bisa menyangka kalau malam ini Agni memang sedang mematikan Handphonenya.

Terbesit dibenak Cakka untuk mencoba menghubungi telepon rumah Agni saja. Namun biarlah, masih ada hari esok.

Rasa mengantuk kini menyerangnya. Matanya mulai dipejamkan sampai akhirnya dia mulai tertidur.

Belum lama dia memejamkan matanya itu, dia dikagetkan oleh dering Handphone yang diletakkan di meja samping tempat tidurnya.

Dengan malas dia meraih benda itu, dan dilihatnya siapa yang menelponnya itu.

Rupanya penelpon itu Sivia, sahabatnya Agni.

"Hallo,Kka. Lo lagi dimana?"
"Hmm,apaan?" Cakka belum bisa membangunkan dirinya sepenuhnya dari tidur itu.
"Lo lagi dimana?"
"Dirumah, emangnya kenapa?"
"Bisa kerumah gue sekarang?"
"Lo gila ya? Ini udah malem,"
"Gak masalah lah,"
"Emangnya ada apa sih? Nada bicara lo kok tegang gitu,Vi?"
"Ada yang musti gue sampein ke lo sekarang juga."
"Tentang apa?"
"Gue gak bisa cerita di telpon. Pokoknya lo kerumah gue sekarang,"
"Gak ah, gue capek. Lagian kenapa sih mesti kerumah lo malem-malem? Entar gue dikira macam-macam sama lo,"
"Yaudah gini aja, gue ke rumah lo sekarang."
"Tapi,"
"Gak ada tapi-tapian,"
"Ya udah kesini sekarang,"
"Ok tunggu ya, gue berangkat sekarang."

Hanya berselang 30 menit, Sivia sudah berada diruang tamu Cakka kini.

"Ada apa sih? Kok lo jadi ribet gitu?" Cakka langsung to the point.
"Lo ikut gue sekarang,"
"Kemana?"
"Pokoknya lo ikut aja, nanti gue jelasin di mobil,"
"Iya tapi ini buat apa?"
"Buat lo dan Agni,"
"Agni ?"
"Udah gak usah banyak tanya, sekarang lo mau ganti baju dulu atau langsung berangkat?"
"Nanti gue ambil jaket dulu, emang kita mau kemana?"
"Liat aja ntar,"

Sivia segera keluar diikuti oleh Cakka.
Di belakang kemudi mobil ini, tanpa berbicara. Sivia terus melajukan kendaraan itu melintasi jalan kota ini.

Cakka hanya bisa melihat penuh tanya dengan sikap tegang Sivia. Dia masih belum mengerti apa yang akan ditunjukkan oleh Sivia.
Dan tanya itu semakin menjadi ketika dia mengetahui kalau dirinya dibawa ke Rumah Sakit oleh Sivia.

"Agni ada disini?"

Tanya Cakka itu tak dijawab Sivia. Dia terus saja berjalan ketika mereka usai memakirkan mobil yang mengantarkan mereka itu.

Lorong demi lorong rumah sakit mereka lalu dalam diam. Cakka tak lagi berani bertanya, karena Sivia itu seakan enggan menjawab pertanyaannya.

Sampai akhirnya ditemuinya sebuah ruangan di ujung lorong, perlahan Sivia masuk.

"Terlambat," Kata itu segera terucap dari mulut Sivia. Dia segera masuk lebih dalam keruangan itu.

Dengan ragu Cakka mengikuti dari belakang. Sampai akhirnya di temuinya keluarga Agni berkumpul mengengelilingi sebuah ranjang dimana dapat melihat jelas kalau Agni terbaring disana.
Namun, Cakka hanya bisa termenung melihat roman muka semua orang yang berada diruangan itu menunjukkan raut kesedihan. Apalagi ketika ia melihat Ibu Agni, meraung menangisi Agni yang tertidur diranjng ini.
Agni tertidur? Iya. Agni memang tertidur, Agni tertidur untuk selamanya. Kini Cakka baru sadar. Kalau Agni memang sudah pergi, yang dia lihat kini, hanya jasad Agni yang sudah tidak bernyawa.
Agni meninggal? Cakka masih belum percaya akan hal itu. Ingin rasanya dia menangis, namun ia tak mampu menangis, Cakka hanya terdiam memandang jasad Agni.
Gabriel kakak Agni merangkul Cakka, tanpa berkata dia mencoba menerangkan arti kata ketabahan pada Cakka.
"Relakan dia, Agni sudah tiada. Pesan terakhirnya tertuju untukmu. Agni masih mencintaimu,Kka. Dia memutuskan mu waktu itu karena ini, dia tau umurnya tidak panjang lagi akibat penyakit yang dideritanya. Dia tidak mau kamu sedih. Dan kamu lelaki satu-satunya dan yang terakhir ada dihatinya, sebelum akhirnya hatinya itu berhenti bekerja."

***

Tidak ada komentar: